Minggu, 30 Maret 2014

Akankah Merkantilisme China Menggeser Hegemoni Barat?

Lia Dahliasari
1701344163
02PA3
blogspot.com


Merkantilisme berkembang pada abad ke-18 di kawasan Eropa Barat dengan tujuan untuk melindungi perkembangan perdagangan dan kekayaan suatu negara. Pada umumnya merkantilisme berupaya meningkatkan produksi ekspor namun membatasi import. Pada masa itu, daerah jajahan negara penganut merkantilisme untuk menghasilkan bahan mentah kemudian menjadi konsumen hasil produksi negara penjajahnya. Sesuai perkembangan jaman, merkantilisme mulai berkurang dengan lahirnya sistem liberal. Pertanyaannya adalah, benarkah sistem merkantilisme pada masa sekarang sudah benar-benar hilang, atau berubah menjadi “nama baru” yang penerapannya lebih dimodernisasikan? China adalah negara yang bisa dikategorikan sebagai negara yang menganut merkantilisme.
Dalam melindungi kekayaan nasional ini, merkantilis negara mengandalkan kebijakan proteksionis dengan harapan dapat memperbesar ekspor dan memperkecil impor. Negara akan diuntungkan dalam kebijakan ini bukan hanya negara itu sendiri tetapi seluruh aspek kehidupan di dalamnya. Para merkantilis ini memandang negara sebagai zero sum game karena tidak dapat dipungkiri setiap negara memiliki kepentingan nasionalnya masing-masing dan merkantilisme inilah merupakan sarana negara untuk mempertahankan kekayaan dan menarik keuntungan bagi negaranya. Negara mengatur segala kebijakan yang berkaitan dengan ekonomi. Akan tetapi, nyatanya dengan memberikan kewenangan akan ekonomi itu kepada negara, banyak sekali hal baik yang tercipta dalam negara tersebut mengingat sebuah negara tidak hanya sekedar menjalankan roda perekonomiannya namun juga memikirkan konsekuensi dan aspek politik ketika negara menerapkan kebijakan-kebijakan ekonominya. Lain halnya, jika kebijakan ekonomi diserahkan kepada individu atau pasar, yang mungkin terjadi nantinya adalah saling berlomba untuk memperoleh keuntungan individu dengan mengabaikan negara sebagai entitas penting.
Salah satu keberhasilan dari merkantilisme ini terlihat dalam perkembangan ekonomi di negara Asia, yakni munculnya “Empat Macan Asia” : Hongkong, Korea Selatan, Singapura, dan Taiwan yang selama tahun 1970-an dan 1980-an yang mengalami pertumbuhan ekonomi begitu pesat. Ditambah lagi jika kita mengambil contoh kontemporer, Jepang, yang kini menduduki posisi ketiga setelah Amerika Serikat dan China sebagai negara dengan kekuatan perekonomian tertinggi di dunia. Keberhasilan negara – negara ini  merupakan realisasi dari strategi merkantilisme yang mereka terapkan dimana pemerintah begitu berperan aktif dalam mengatur dan memelihara proses pembangunan ekonomi negara.
            Konsep zero-sum menjadi inti dari merkantilisme, dimana dalam persaingan ekonomi global, akan selalu ada pihak yang untung atau menang dan rugi atau kalah, sehingga setiap negara harus berjuang keras dalam penguatan ekonominya untuk mencegah kerugian dan memaksimalkan keuntungan. Konsep ini sejalan dengan realisme.
Kecenderungan ekonomi politik internasional saat ini mengarah pada gagalnya penerapan sebuah ideologi ekonomi yang murni untuk memenuhi kepentingan nasional. Yang menyebabkan ketegangan dalam persaingan dan saling menyalahkan karena masing-masing pihak dianggap melanggar kesepakatan perdagangan. Contohnya adalah pertikaian antara negara-negara barat (terutama Amerika Serikat dan Uni Eropa) dengan China. Meskipun secara politik China menganut komunisme, secara ekonomi China cenderung liberal. Sedangkan AS dan E.U. telah lama dikenal sebagai negara-negara dengan ekonomi liberal yang menolak intervensi pemerintah dalam kegiatan ekonomi.
            Dari Tempo, disebutkan bahwa China mulai menerapkan kebijakan-kebijakan yang menyulitkan eksportir Eropa dan AS untuk bersaing di pasar China, seperti perlindungan dan subsidi industri baja dan tenaga surya sehingga Cina dapat menjual komoditas ekspornya dengan harga yang sangat rendah di pasar Eropa dan AS. Kebijakan proteksionisme China adalah respon terhadap pelanggaran komitmen perdagangan bebas yang lebih dulu dilakukan oleh negara-negara barat, misalkan dalam kasus AS yang memberikan bantuan pada enam proyek energi dalam negerinya.
Jika negara barat melakukan upaya ‘balas dendam’ dengan menarik investasi dan membatasi impor produk dari China, ini justru mengancam kestabilan ekonomi China. Apabila ekonomi China memiliki tingkat kemapanan dan kemandirian yang tinggi tidak akan berpengaruh besar terhadap perkembangan ekonomi. Namun pada kenyataannya China tidak dapat berdiri sendiri tanpa campur tangan negara-negara barat. Oleh karena itu dapat ditarik kesimpulan bahwa penerapan kebijakan neo-merkantilis harus disertai dengan kesiapan dan strategi yang tepat, yang berguna untuk mengantisipasi resiko kerugian dan segala konsekuensi yang muncul akibat dari interdependensi antar negara.
blogspot.com

China sebaiknya memulai ekspansinya dengan perencanaan yang matang untuk menyaingi negara-negara barat. Dalam hal ini, China harus menjadikan negara berkembang sebagai targetnya. Negara berkembang dan negara kecil cenderung mudah ‘dikuasai’ dan China akan memiliki pengaruh yang besar dalam perkembangan ekonomi mereka dan membuat negara tersebut bergantung pada China.
Jika kekuatan ekonomi China sudah berpengaruh, maka China memiliki peluang untuk menyaingi negara-negara barat. Peluang itu bisa didapat ketika negara barat mengalami krisis. Namun, sebelum upaya dilakukan, China harus memperhatikan kesehatan, pembangunan kekuatan dalam negeri dan integritas dalam negeri yang memperkuat pertahanan internal sebelum melakukan secara eksternal.
blogspot.com



Sumber :
PAB Online, Amerika Serikat Pasar Ekspor China Nomor 1, 2011, <http://www.pab-indonesia.com/redaksi/7022-amerika-serikat-pasar-ekspor-china-nomor-1.html>,

Tempo, Perusahaan Eropa Akan Kurangi Investasi ke Cina, 2012, <http://www.tempo.co/read/news/2012/05/29/090406934>


BBC, Chinese exports rise more than forecast in August, 2013, <http://www.bbc.co.uk/news/business-24012224



           

0 komentar:

Posting Komentar