Oleh : Lia Dahliasari
NIM : 1701344163
Kelas : 02PA3
blogs.nicholas.duke.edu |
Apabila kita membahas masalah
kebutuhan minyak dan gas dalam skala global, tentu tidak terlepas dari peran
dan masalah Nasional. Tata kelola industry migas Mancanegara memiliki tiga
fungsi yaitu kebijakan (policy), regulasi
(regulatory), dan komersial (commercial). Indonesia berperan dalam
men-supply pasokan minyak mentah sebagai
upaya memenuhi permintaan global, walau hanya berperan sebagai “pemilik lahan”,
bukan “penggarap”.
Di Indonesia yang memiliki fungsi komersial
adalah Pertamina. Pertamina sebagai NOC berkontribusi terhadap produksi
Nasional yang relatif kecil dibandingkan NOC negara lain. Sehingga kita sering
menyebutnya sebagai kedaulatan migas negara Indonesia jatuh ke tangan asing
karena Indonesia cenderung menikmati peran sebagai boss yang menerima bagi hasil dari kontraktor (IOC). Indonesia
merupakan pelopor penggunaan Production
Sharing Contract (PSC) yang diadopsi dari sistem paron; bagi hasil anatara penggarap dan pemilik.
NOC
yang berlaku di negara anggota OPEC seperti Saudi Arabia (Aramco), Iran (NIOC),
Kuwait (KOC), Venezuela (PDVSA), Qatar (QP) mencapai 90% produksi domestik.
Bagi non-APEC, NOC mencapai 90% seperti Meksiko (Pemex) dan Brazil (Petrobras).
Libya (LNOC) dan Aljazair (Sonatach) menguasai 80% produksi domestik. Malaysia
(Petronas), Nigeria (NNPC), UEA (ADNOC), China (CNPC) menguasai 50% produksi
nasional. 40% produksi nasional Angola (Sonangol), sementara Indonesia
(Pertamina) tidak lebih dari 25% menguasai produksi nasional.
Membahas
sistem kontrak yang terjadi dalam menjalankan usaha Migas, memiliki
dua cara yaitu Business to Business
(B2B) dan Business to Government
(B2G). PSC di India, Oman, Yaman dan Jordania
yang berkontrak adalah Pemerintah (Kementrian) dengan perusahaan migas
internasional (B2G). Malaysia yang berkontrak Petronas dan IOC (B2B), di
Brazil yang berkontrak Pemerintah
(diwakili ANP yang berada dibawah Kementrian) dengan perusahaan migas (B2G).
Kontrak kesepakatan LNG Papua Nugini berlangsung antara Pemerintah dengan Perusahaan
migas Esso (B2G). Kontrak antara Pemerintah dengan Investor tidak hanya melalui
dokumen kontrak (Concession Agreement atau
Production Sharing Contract), namun
jika investor bersengketa dengan Pemerintah, tentu mereka akan mengajukan
masalah tersebut melalui atribusi internasional seperti Bilateral Investment Treaty (BIT).
Telah
dijelaskan pada paragraf awal bahwa konsumsi energi dunia terhadap migas
meningkat sebesar 56%. EIA atau disebut juga Badan Informasi Energi Amerika
Serikat dalam Energy Outlook 2013 (IEO 2013) menjelaskan bahwa bruto riil dunia
meningkat 3,6%/tahun hingga 2040. Pada 2020 penggunaan energi meningkat 630
kuadriliun btu (quads) dan pada 2040 820 quads. Untuk presentasi konsumsi
energi di luar Negara anggota OECD melonjak 90%, sementara untuk anggota OECD
hanya sekitar 17%.
Diperkirakan 80% bahan bakar fosil memasok
kebutuhan energy dunia hingga 2040. Sementara minyak diperkirakan akan turun
menjadi 28% pada 2040. Dan nuklir akan menjadi energi yang mengaami kenaikan
pertahunnya sekitar 2,5%. Sementara untuk penguasa pangsa pasar minyak
Negara-Negara OPEC masih berperan hingga 2040. Untuk batubara, diperkirakan
akan tumbuh lebih cepat dibandingkan minyak bumi pada 2030 karena China akan
menjadi negara pengimpor batubara terbesar.
Dengan adanya permintaan global terhadap
migas yang semakin meningkat, produksi shale
gas Amerika Serikat meningkat sejak 2006. Dan ini dianggap ancaman oleh LNG
Australia yang melakukan investasi besar-besaran dalam produksi migas, karena
impor dari AS lebih murah daripada harga LNG tradisonal. Tambahan pasokan
minyak non-konvensional dari AS dan Kanada diperkirakan mencapai 12 juta barel
per hari, urutan kedua setelah Saudia Arabia. Pada waktu mendatang, penghasil
minyak meningkat dan posisi empat besar diduduki oleh Amerika Serikat, Kanada
dan Brazil serta Irak yang mewakili Timur Tengah.
Namun, proses produksi migas
non-konvensional itu memberikan dampak baru terhadap dunia internasional, yaitu
isu lingkungan. Teknologi fracturing dalam
skala besar dikhawatirkan mengkontaminasi air tanah dan masalah lingkungan yang
lainnya. Namun di luar itu semua, kebutuhan terhadap pasokan migas dapat
diatasi. Dan, permintaan global terhadap migas membuat pihak-pihak berpikir
kreatif karena desakan sehingga menghasilkan sebuah terobosan yang bermanfaat.
www.livets-mening.nu |
www.permanentculturenow.com |
Sumber :
0 komentar:
Posting Komentar